Sejarah Dan Perkembangan Militer Indonesia Pada Masa Orde Baru
Krisis
ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang
berkepanjangan membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang
selama ini tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah
legitimasi Panglima tertinggi ABRI. Dalam analisis pendekatan
struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah
air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi
dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi.
S-60 Arhanudse TNI AD dalam sebuah uji penembakan
Proposisi Kelas Menengah yang secara signifikan mampu menciptakan
tuntutan kearah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur
hubungan pusat - daerah juga diwarnai oleh dominasi elite Birokrasi -
Militer yang berorientasi kepada dukungan pusat, sehingga kurangnya
kepentingan dengan penegakkan institusi demokratis di wilayah mereka.
Selama 32 tahun lebih telah terjadi penyimpangan yang menghambat proses
demokratisasi melalui berbagai kebijakan politik sebagai bagian dari
implementasi struktural peran sosial politik ABRI. Selama itu pula
militer tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik sepanjang
pemerintahan Orde Baru, baik melalui doktrin peran sosial politiknya
maupun bentuk perundangan yang menjadi basis legitimasinya.
Ditengah arus gelombang demokratisasi yang begitu kuat melanda
negara-negara dunia ketiga ( third world countries ) saat ini telah
membuat redifinisi tentang keterlibatan militer dalam politik dan
dominos effect yang juga begitu kuat dirasakan Republik ini terutama
melalui apa yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan masyarakat
sipil dengan cita - cita reformasi total.. Latar belakang sejarah
kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi militer
untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan
kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang
kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu,
faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika
regime sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu
menguasai keadaan sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi.
Dengan demikian lambat laun militer akan memasuki ruang kehidupan
politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kekuatan politik.
Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir
pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik
ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung
selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer
dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan
berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang
represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga -
lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang
dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi
perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter,
seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia
dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter
menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang.
Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat
militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan
kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah
diluar batas kemanusiaan.
Proses demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat
dimana terdapat optimalisasi peran dan fungsi civil society serta
lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana dalam political science
selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam
politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme.
Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform
baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan
menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer
seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya the
soldier and the state : the theory of civil - military relations, usaha
pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi dua
metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini
dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer.
Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya
golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai
kepentingan yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian
sipil obyektif. Metode ini dilakukan dengan cara meningkatkan
profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan
militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer
masih diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian
tetap menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang
diajukan oleh Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi
kekuatan - kekuatan sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.
Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai
keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui
doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang
mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI
dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan
Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi
ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde
Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat
dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses
decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state -
society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi.
Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan
efektivitas konsep Dwifungsi ABRI.
Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan
kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang
berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi
sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI
dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan
status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan
militer dari panggung politik.
Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di
masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat
menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan
monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya
sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya
pelembagaan otoritarianisme.
Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada
posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang
Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik,
menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta
diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk
re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu,
kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu
mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru. Diawal orde Baru,
korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan
pendukung Soekarno, di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke
mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke kalangan tokoh islam
kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis Pro Demokrasi
selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik. Pola -
pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM
tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru.
Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa
mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik
Indonesia menurut Harold Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau
perpecahan antar elite penguasa khususnya militer, merupakan faktor
kunci untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi
dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun perjuanmgan kearah
demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari
konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan
sesuatu yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik
menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk
meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita
pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik
idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan
seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa
mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil,
dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat
menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang
merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society
). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua
kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai
landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang
bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat
ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa
militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperluakan lagi.